join whit me...!!!!

Jumat, 08 April 2011

ini adalah salah satu tempat kuliner favorit yang bersahabat dengan kanting kita kita

Oleh Prassetia Ambrita

Di tengah makin menjamurnya restoran dan tempat makan di lingkup suburban, otomatis pilihan menu pun semakin beragam. Alur perkembangan olahan makanan dari waktu ke waktu semakin bergerak maju mengikuti selera pasar. Derasnya arus sajian menu import juga turut berperan dalam membentuk mindset masyarakat yang kian lama kian terbaca seleranya, jika tidak menu ke western-an, ya, ke chinese-an. Generasi saat ini mungkin lebih mengenal hamburger, pizza, atau chicken katsu ketimbang menu “jadul” nan historikal macam jarang lodeh (sayur lodeh) ataupun garang asem yang kini mulai dipertanyakan eksistensinya. Tak bisa disalahkan memang jika menu-menu primadona masa lalu tersebut semakin tergilas dan pudar dimakan waktu, selain karena sulitnya mendapat bahan baku serta bumbu, juga karena kian terbatasnya tenaga pengolah yang harus setia mengikuti prosesi yang panjang dan menyita waktu hingga sajian dapat tercipta sempurna, tidak relevan dengan apa yang sering digaungkan kini, instan.
Namun keunikan atmosfer “jadul” hingga berbagai ornamen yang mengingatkan kita tentang kenangan masa kecil ternyata masih dapat dijumpai di daerah Serpong, tepatnya di Teras Kota, Bumi Serpong Damai (BSD). Mengambil nama Depot Saribanon, yang mengandung arti “Kembang Desa” atau perempuan yang menjadi pujaan di kampungnya, sehingga banyak orang yang ingin selalu mendekati sekaligus menikmatinya. Setidaknya demikian yang ingin dimaknai restoran ini jika bicara dalam konteks makanan, jadi jangan terfikir ke arah lain. Terletak di dalam area Teras Kota yang bernuansa modern, Depot Saribanon akan mudah ditemukan. Kedai besar berbahan dasar kayu terpampang persis di tengah restoran, di sampingnya dikelilingi bangku dan meja yang juga terbuat dari bahan kayu. Sekilas seperti yang dipakai di sekolah dasar, namun telah diwarnai dengan pilihan warna “mejikuhibiniu” yang mencolok. Terkesan kaku, tapi hal itu justru berhasil membuka mesin waktu kita kembali ke beberapa tahun lalu, di mana segalanya diatur dalam pakem yang telah ada aturannya dari para leluhur. Lucu untuk mengenangnya saat ini.
Hal lain yang saya suka dari restoran ini yaitu banyaknya ornamen yang terbilang langka untuk ditemukan sekarang, seperti papan conglak, peralatan masak-masakan yang terbuat dari alumunium, kaleng kerupuk dengan kaca bening di tengahnya, serta miniatur truk kayu yang dahulu saya mainkan dengan cara ditarik memakai tali (sempat merupakan barang mewah untuk ukuran bocah waktu itu dimana sebagian yang lain sudah cukup senang dengan menarik mobil-mobilan hasil karya sendiri dari bahan kulit jeruk Bali). Mengingatkan akan masa kecil saya yang kurang, sorry.. saya yakin, cukup bahagia.
Tapi yang menjadi identitas dari Depot Saribanon ialah lukisan tangan dalam konsep human interest atau pun panorama. Biasanya mudah ditemukan jika Glowers berpergian ke luar kota dan harus terjebak di belakang truk yang sedang melintas. Hampir semua, atau mungkin hal tersebut sudah merupakan kewajiban bagi setiap pemilik truk untuk memberi identitas dengan cara menggambar suatu objek disertai berbagai kalimat “nyeleneh” pada kendaraannya. Persis dengan apa yang terpajang di Depot Saribanon, bodi belakang truk dengan lukisan sesosok wanita muda berbaju putih ketat seolah menggambarkan posisi setengah tidur dan tubuh bagian bawah yang hanya dililit oleh kain panjang berwarna abu-abu. Di sisi kirinya terdapat kalimat yang saya maksud nyeleneh; “ada uang abang disayang, nggak ada uang abang ditendang terus”.
Depot Saribanon memang sangat serius mengusung konsepnya sehingga pilihan menu pun merupakan sajian khas masing–masing daerah di Indonesia pada zamannya, atau disebut otentik Indonesia. Bestik Jawa Banondari (Rp 37.500+), Garang asem iga (Rp 27.000+), Jangan asem/Sayur asem (Rp 5.000+), ataupun menu blasteran, Wapel Kampung (Rp 19.500+) yang sebenarnya berbahan dasar adonan sama seperti Waffle – mungkin karena memudahkan penyebutan – lama kelamaan jadi ditulis Wapel. Yang saya coba adalah Nasi goreng ijo (Rp 20.500+) dan Ayam setan (Rp 27.000+) yang merupakan menu unggulan. Untuk warna ijo (hijau) pada nasi goreng diperoleh pada saat menanak beras dengan menggunakan daun suji, pewarna alami yang sering dipakai untuk membuat minuman cendol dan ternyata memberikan aroma serta rasa yang berbeda di dalam nasi. Ayam setan juga dominan berwarna hijau, dihasilkan dari cabai hijau yang dilumatkan serta merta dicampur dengan potongan ayam goreng yang telah diberi bumbu khusus. Rasanya luar biasa pedas tetapi tetap nikmat, nama Ayam setan memang diambil dari rasa pedas yang dihasilkan. Saya juga tak melewatkan untuk mencicipi minuman Bandrek (Rp 7.500+) yang terbuat dari jahe dan gula merah, Kelapa aren (Rp 15.000+), kelapa serut berpadu dengan aren, serta jajanan pencuci mulut seperti Tape lulur (Rp 5.500+), tape bakar yang dilumuri karamel gula merah dengan taburan kacang tanah dan Bakso colok (Rp 5.000+).
Selepas saya menyantap, tepat di belakang meja saya dua orang setengah baya dengan gaya necis dan rapih, telihat memasuki restoran. Setelah melihat menu dan berbincang beberapa saat, salah seorang dari mereka kemudian memanggil staff restoran dan memberikan usul untuk memasukan menu Kue Rangi dan Kue Pancong. Seketika saya langsung menangkap pesan dari hal tersebut, suatu cermin kerinduan mendalam akan kesederhanaan hidangan masa lalu yang sudah mulai sulit ditemui saat ini.
Depot Saribanon
Teras Kota G12
Jl. Pahlawan Seribu – BSD City
Serpong, Tangerang
T. 021 – 30025899

T. 021 – 30025899

Icon Life Lippo Super Mall, Karawaci
Tak adil rasanya jika hanya bernostagia dengan restoran dan hidangan masa lampau. Sebagai penyeimbang saya menyambangi sebuah restoran di Supermal Karawaci, Iconlife. Berkonsep modern futuristik dalam gaya dekorasi yang belum banyak ditemui di sekitaran suburban. Tak banyak ornamen yang digunakan, hanya menggunakan dominasi warna putih dengan hiasan beberapa frame foto di dinding. Hal tersebut ternyata menyiratkan maksud, karena Iconlife dilengkapi dengan fasilitas photo studio. Menurut mereka, konsep awal Iconlife sendiri hanya dikhususkan untuk keperluan photo studio, namun banyaknya permintaan untuk menyediakan menu makanan bagi pengunjung yang sedang menunggu hasil foto akhirnya membuat Iconlife merambah menjadi restoran. Satu yang menjadi menu andalan adalah Icon mix grill (Rp 35.000), kombinasi braswut steak, dan chiken steak yang dilumuri icon sauce lalu disajikan dengan french fries plus salad. Icon soda (Rp 10.000), perpaduan soda, fresh lemon dengan buah strawberry/melon, atau produk terbarunya, Icon freezy yogurt (Rp 10.000). Jadi, bila ada yang menganggap menu makanan di sini hanya sebagai pelengkap, sepertinya salah besar.
Kembali ke photo studio, di Iconlife terdapat 2 ruangan studio. Untuk yang standar terletak di sudut sebelah kanan, sedangkan untuk studio lomo terletak di kiri setelah pintu masuk. Di tengah ruangan terdapat beberapa set komputer yang saling berhadapan, gunanya agar pengunjung dapat memilih dan menentukan foto mana yang ingin dicetak. Tak sabar untuk segera berfoto ria bak model professional, berikut paket penawaran photo print Iconlife, mulai dari basic digital print Rp 2.000 (4R) sampai Rp 15.000 (8R), i’m cube print (porsi penempatan fotonya dapat disesuaikan dengan keinginan) Rp 5.000 (4R) – Rp 22.500 (8R) hingga paket foto kanvas yang ditujukan bagi keluarga Rp 200.000 (Canvas 40×60 cm) – Rp (Canvas 60×90 cm) plus 16x foto, 8 lembar 4R, 4 lembar 6R, serta 1 buah CD. Dengan ditangani oleh para fotografer handal, pastinya menjadikan foto Glowers sebagai kenangan indah yang terekam abadi sepanjang waktu.
Icon life
Supermal Karawaci LG #116

Tidak ada komentar:

Posting Komentar